Discourse
- Home
- Cerita Sex Gay
- Discourse
Discourse
CERITA SEX GAY,,,,,
“Hai, celanamu bagus. Dimana kamu jahitinnya?” tanyaku kepada Rasta.
“Di dekat kampus. Wow, banyak kok. Bertebaran deh”.
“Boleh dong aku diantar ke sana?”
“Kapan kamu maunya?” demikian Rasta menimpali.
Aku meneliti celana jeans yang sedang dikenakan Rasta siang itu. “Tolong dong, diangkat bajunya, aku mau lihat jahitannya?” kataku sambil merunduk ke arahnya. Rasta segera mengangkat t-shirt yang dipakainya tinggi-tinggi. Terlihat bulu-bulu halus berbaris dibawah pusarnya dengan arah kontur jelas bersumber dari sesuatu yang ada di bagian pangkal pahanya.
“Lho, kok longgar, sih?” kataku mengomentari lingkar celana yang terlihat besar. “Nih, lihat, empat jariku dapat masuk ke dalamnya” aku memasukan jemariku ke bagian dalam celana jeansnya untuk menunjukan hal itu. Pada saat yang sama, aku sempat terkejut, ternyata Rasta tidak memakai celana dalam. Tanganku langsung menyentuh pubicnya yang terasa sekali kelebatannya. Wajah Rasta bersemu merah. Malu. Aku pura-pura tidak melihat perubahan pada wajahnya.
Setelah kejadian itu, pikiran ngeresku selalu membayangkan aku dapat memegang bahkan melumat sekalian sesuatu yang ada di antara pubicnya itu. Kala itu jangkauan tangganku tidak dapat mencapainya. Karena ia belum ereksi.Tapi intuisiku mengatkan bahwa probabilita Rasta dapat juga menikmat seks sejenis adalah sekitar 80-90% kebenarannya. Aku hanya perlu membuktikan hipotesa saja. Apalagi dari analisa sikap dan perilakunya sebagai seorang ‘anak mami’ yang dandy dan fasionable. Dia malu sekali ketika aku mengomentari kuku tanganya yang bersih karena melakukan treatment menipedi (Manicure and Pedicure).
Memang sih, kutahu ia punya girl friend. Aku juga kenal kok dengan pacarnya itu. Tapi menurut pandanganku itu tidak menjadi alasan yang signifikan bahwa ia tidak bisa lagi make love sejenis. Sesuatu yang membuat aku begitu yakin adalah selera pilihannya terhadap warna-warna tertentu serta sikapnya yang manja kepadaku. Aku biasa memeluk dan mencium pipinya ketika ulang tahun. Suatu kali, bahkan pernah kami bersentuhan bibir. Namun, aku tidak ingin gegabah bertindak lebih yang akhirnya merusak pertemanan itu.
Sampai pada suatu ketika ia datang kerumahku dengan keadaan basah kuyup. Saat itu memang kebetulan hujan deras.
“Lho kok tumben sampai kebasahan gitu?” kataku kepadanya sambil memberikan handuk dan ganti pakaian kering kepadanya.
“Rumahmu, sih, pake masuk gang segala. Sialnya, aku sedang gak bawa payung lagi” Rasta menggerutu, kemudian ia melanjutkan “Menunggu hujan berhenti, wah, aku gak sabar deh. Makanya aku beranikan monek (modal nekad) aja menerabas hujan. Kalau mama tahu begini pasti sih diomelin. Ntar pilek, batuk, he he…he….he..he..”
Rasta membuka pakaiannya yang basah. Aku terhenyak ketika untuk pertama kalinya menyaksikan keindahan bentuk tubuhnya polos atletis dengan dadanya yang bidang dan amboi lebat nian bulu ketiaknya terlihat menggerombol keluar dari himpitan kedua lengannya yang kokoh itu.
“Aku nginep di sini aja ya malam ini?” kata Rasta sambil merebahkan diri di kasur.
“Yes” teriaku dalam hati. Bagiku inilah saatnya yang kutunggu-tunggu.
“Kamu sudah ijin ke mama?” kataku sambil menutup pintu dan jendela.
“Sudah, sih, kebetulan juga di rumah lagi banyak tamu, kupikir sesekali nginep disini boleh dong?” Rasta tersenyum sambil mengedipkan mata.
Ketika malam beranjak larut, aku semakin gelisah saja. Kulihat disampingku Rasta sudah lelap tertidur terdengar dari dengkur halus nafasnya. Ia memakai t-shirt serta celana pendek hawai milikku Perlahan aku bangkit berdiri mengambil gunting yang telah kupersiapkan sebelumnya. Dengan hati-hati aku menggunting bagian tepi t-shirt dan celana yang dikenakannya itu. Tahap pertama selesai dengan terlepasnya pakain dan celana hawainya. Masih satu tahap lagi yaitu menggunting celana dalamnya. Hingga akhirnya aku dapat melihat keseluruhan tubuh polos Rasta. Terlihat Rasta nyenyak sekali dalam tidur sehingga ia tidak tahu bahwa saat itu ia telah kubuat bugil.
Aku segera melepas juga semua yang melekat ditubuhku; kini akupun sudah bugil pula. Tak sehelai benangpun melekat di tubuhku. Aku melirik kemaluanku yang sudah menegang dengan perkasa. Pada saat itu, aku sempat bingung mau ngerjain bagian yang mana dulu ya. Sampai akhirnya kuputuskan untuk perlahan-lahan menindih tubuh Rasta yang telentang itu. Namun sebelumnya kuangkat dahulu ke dua belah tangan Rasta kesamping sehingga aku dapat melihat jelas pangkal lengannya yang ditumbuhi bulu ketiaknya yang rimbun itu. Kuhirup aroma jantan khas lelaki dari ketiaknya yang lebat itu
Dengan hati-hati kugesek-gesekanan kemaluanku di atas selangkangannya seraya membasahi bibirnya yang agak ternganga itu dengan sapuan lidahku hinga kemudian kudengar Rasta mendesah dan membuka mulutnya. Lidahku segera menerabas masuk menyapu langit-langit mulutnya; reaksinya adalah lidah Rasta menjulur keluar yang segera kuhisap. Tak lama kemudian kurasakan kedua lengan Rasta telah melingkar di punggung dan pantatku. Kurasakan juga Rasta membalas gesekan kemaluanku dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya.
Walau mata tetap terkatup seperti layaknya orang tidur namun erangan, goyangan dan desahan Rasta makin membuat aku kehilangan akal sehat. Aku meniduri Rasta tak ubahnya seperti ketika aku meniduri Ina kekasihku. Aku melepaskan diri dari dekapan Rasta dan perlahan kuarahkan glans ku ke mulut Rasta. Kurasakan bibir Rasta mengenyot glans dan lidahnya terasa basah memilin dan menjilat-jilat; kudorong lagi agar lebih masuk. Setelah itu aku mengarahkan rectumku ke mulut Rasta dan aku menikmati jilatan liar lidahnya disekeliling rectumku sambil tanganku meremas-remas dadaku.
Sebelum mengulum kemaluan Rasta aku kembali menghirup aroma ketiak Rasta yang ternyata semakin memacu testoteronku dan memperkeras tegangan kemaluanku. Aku memutar arah tubuh. Kurahkan kembali kemaluanku ke mulut Rasta. Memang agak sulit pisisi ini namun akhirnya aku dapat meraih kemaluan Rasta yang ternyata sudah mengeras pula. Aku segera mengelamotinya. Kami saling mengelamoti, yang istilah nya adalah posisi 69. Tapi aku tidak lama melakukan posisi ini, selain sulit juga agak tidak nyaman karena arah datang glans tidak biasa sehingga memudahkan terantuk gigi. Sakit.
Aku mengambil bantal dan mengganjalkan di bawah pinggul Rasta. Kuangkat kedua kaki Rasta dan kuletakan dipundakku. Setelah aku mengolesi Glans dan batang penisku dengan gel vaginal lubricant Durex serta merangsang rectum Rasta dengan jariku yang telah dilumuri Durex maka aku mengarahkan Glans ke arah ass-hole Rasta. Dengan ancang-ancang yang cukup aku mendorong perlahan lahan dan kemudian dengan satu sentakan kuat aku berhasil membenamkan seluruh batang penisku ke dalam liang kenikmatan Rasta.
Saat penetrasi itu, rupanya Rasta terbangun dari tidurnya dia meronta dan nampak terkejut. But the show must go on. Aku tetap mencengkram ke dua pahanya sambil tetap menyodok-nyodokan kontolku ke lubang duburnya. Tak beberapa lama Rasta tidak meronta lagi; bahkan ia mengerjap-ngerjap sambil tangannya meremas-remas kedua dadanya.
Jika aku semula dalam posisi menekuk lutut, maka kini aku selonjorkan kedua kaki disisi tubuh Rasta; aku menurunkan kedua kaki Rasta dari pundaku dan kemudian aku mencoba meraih pundak Rasta. Setelah dapat langsung kurenggut dan kuubah titik berat sehingga keadaan menjadi berbalik aku barbaring dan Rasta menduduki selangkanganku.
Setelah memperbaiki posisi agar lebih nyaman maka kini Rasta memegang kendali atas diriku. Dalam posisi beraring ini Rasta lebih mudah mengatur kedalaman penetrasi yang diinginkan. Buatku posisi ini lumayan enak karena aku tidak terlalu capai untuk memajumundurkan pinggul. Aku hanya merasa kemaluanku seperti diremas-remas dan dihisap oleh sesuatu kekuatan gaib yang menimbulkan sensasi senut-senut yang tidak terlukiskan dengan kata-kata biasa keculai desahan dan erangan kenikmatan.
Dalam posisi seperti ngulek sambel ini aku dapat menyaksikan wajah Rasta yang cute dan cool dengan lebih jelas. Senyum Rasta yang menawan ditingkah oleh sebaris kumis dan jenggot yang tumbuh rapi. Sambil Rasta naik turun menelan kemaluanku aku meraih penisnya pula dan memasturbasinya. Sampai pada suatu ketika aku sudah merasa sampai pada suatu titik pendakian cinta. Kedua kakiku mengejang dan tubuhku menggelatar hebat manakala aku menyemburkan cairan kelakianku di relung tubuh Rasta. Di saat yang sama Rasta melakukan cumshotnya kepadaku. Tembakan maninya tumpah ruah didagu dan mulutku. Pejantan belia yang kuidamkan.
:”Lho, kok, digunting?” Kata Rasat sambil menunjukan baju dan celana yang tadi dikenakannya.
“Aku takut membuat dirimu terbangun dan menjadi marah, jadi agar kau tidak bangun maka aku tidak punya pilihan lain selain mengguntingnya. Seandainya kau maraHPun dalam keadaan telanjang bulat demikian, aku yakin, kau tidak akan langsung lari pulang, ya kan?” Sahutku sambil memberikan ganti baju dan celana yang baru.
“Oh ya, Rasta, aku minta maaf untuk perbuatan tadi. Aku telah berbuat kurang ajar kepadamu. Aku hanya ingin membuktikan hipotesaku bahwa kau tidak alergi dengan hubungan make love sejenis. Feelingku menyatakannya bahwa kau bisa melakukannya.
“Menurutku tidak perlu ada yang dimaafkan; sebab sebenarnya akupun sudah lama menginginkannya. Hanya saja aku tidak tahu cara memulainya.”
“Jadi kau sama sekali tidak menyesal dengan apa yang baru saja kita lakukan?”
“Apalagi yang harus disesali dan untuk apa pula menyesal? Buatku penyesalan hanya boleh ada jika kita belum pernah melakukannya. Dengan pengalaman melakukan ini aku sekarang menjadi lebih mengerti perbedaan rasa bercinta homo dan hetero. Penilainan ini hanya dapat dilakukan dengan cara membandingkannya dengan praktek. Bukan hanya mendengar kata si anu atau sekedar membaca cerita ”
“Nah itu kan menurutmu, tapi belum tentu kan menurut yang lain” Aku membantah argumentasinya
“Menurutku, sih, tetap begitu; dalam jangkauan pemikiranku bagaimana mungkin seseorang dapat memberikan suatu penilaian enak atau tidak enak terhadap sesuatu hal tanpa orang tersebut pernah mengalaminya sebelumnya. Walaupun aku juga tahu, ada hal-hal tertentu yang take it for granted – dapat kita yakini kebenarannya tanpa perlu kita harus mencobanya pula”.
“Kalau begitu bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur meragukan kualitas kenikmatan bercinta sejenis seperti yang baru saja kita lakukan tadi?”
“Haruskan aku menjawabnya?”
“Nah, bagaimana pula kelanjutan hubunganmu dengan Regina, pacarmu?”
” Wow, Aku tetap mencintainya. Aku juga masih punya nafsu terhadapnya. Tidak pernah berfikir bahwa hanya karena kejadian tadi kemudian aku memutuskan hubungan dengan Regina. Aku minta pengertianmu untuk menjadikan hal ini rahasia kita berdua, ok?”
“Deal” jawabku sambil melakukan toast – saling menepak telapak tangan.
Di kejauhan sayup-sayup terdengar suara kokok ayam. Kutengok jam, ternyata saat ini sudah jam 5 pagi. Untungnya tanggalan merah. Hari libur. Jadi kami meneruskan tidur yang tertunda.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Tamat